Wacana gender akhir-akhir ini begitu popular di kalangan para aktivis HAM. Pandangan Gender yang pada awalnya ini merupakan isu sosial masyarakat dalam membentuk opini public lambat laun berubah menjadi isu yang menuju pada sebuah paradigma dan dasar berfikir disiplin ilmu.
{mosimage}
Namun karena pada awalnya merupakan wacana sosial maka perkembangan wacana Gender juga berkutat pada sdisiplin ilmu sosial. Pembahasan Gender yang dikaitkan dengan disiplin ilmu eksak masih jarang, padahal di luar negeri wacana ini mulai kian popular. Salah satu contohnya bagaimana Gender ditinjau dari disiplin ilmu Teknik Sipil dan Teknik Lingkungan.
Hal inilah yang melatarbelakangi diskusi akademik kerjasama FTSP UII dan Pusat Studi Gender (PSG) UII yang bertajuk Konstruksi Bangunan dan Lingkungan Berperspektif Gender, Senin 13 April 2009 di ruamg siding dekanat FTSP. Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Ir. Sarwidi, MSCE, Ph.D dan Dr. Ing. Widodo Brontowiyono, MSc.
Dalam sambutannya Dekan FTSP UII, Dr. Ir. Ruzardi, MS, mengungkapkan istilah gender sebetulnya bukan merupakan barang baru dan sudah cukup popular, namun boleh jadi selama ini sebagian besar kita baru memahami gender dalam artian yang sempit yaitu gender dipandang sebatas perbedaan jenis kelamin saja, ujar Ruzardi.
Begitu juga hibah TPSDP yang dimenangkan oleh Jurusan Sipil yang salah satunya meminta keterwakilan gender dalam penerimaan mahasiswa baru diartikan keterwakilan perempuan/wanita dalam jumlah prosentase tertentu. Padahal pengertian gender tidaklah sesederhana itu, tambahnya lagi. Untuk itu Dekan berharap pada kesempatan diskusi ini akan dapat pengertian gender dalam arti yang lebih luas.
Dalam kesempatan tersebut Prof. Sarwidi yang memaparkan tema Konstruksi Bangunan Tahan Gempa Berperspektif Gender, antara lain menyampaikan bahwa dewasa ini ada sekitar 15 persen wanita yang menuntut ilmu di bidang Jurusan Sipil, namun prosentase ini dari tahun ke tahun semakin naik, khusus untuk bidang engineering dewasa ini telah mencapai sekitar 30persen. Rendahnya angka ini tidak terlepas dari mitos masa lalu yaitu bahwa dunia engineering indentik dengan aroma maskulin, lebih keras dan lebih kuat, jauh dari sifat feminin.
Sementara itu, Dr. Ing. Widodo yang menyampaikan materi eco-feminisme, mengatakan bahwa kerusakan lingkungan lebih banyak dialamatkan kepada penyebab kaum perempuan. Contoh sedehana populasi penduduk yang meningkat sering perempuan menjadi obyek. Ulah konsumerisme kaum perempuan mempercepat kerusakan lingungan, namun dalam beberapa kegiatan perempuan sebetulnya lebih peduli, seperti mengelola sampah, peduli air dan peduli lingkungan dibanding kaum lelaki, jadi sebetulnya pendapat yang mempermasalahkan penyebab kerusakan lingkungan oleh kaum perempuan juga tidak dapat dibenarkan.
Dari diskusi juga disampaikan bahwa gender bukan arti membandingkan bidang kerja lelaki dan perempuan yang kemudian menuntut kesetaraan. Tetapi memang perbedaan ini timbul dari tiga keadaan yang sudah ada selama ini yaitu: keadilan, adat, dan mitos. Pola ini lebih banyak dijumpai di Indonesia yang sebetulnya juga tidak ada dasar yang kuat untuk dijadikan pegangan yang juga tidak ada dasarnya dalam agama.
Diskusi kali ini masih lebih banyak menyoroti aspek gender dari perbedaan jenis kelamin, hanya sangat sedikit pembicaraan yang mengangkat aspek gender dari konstruksi sosial budaya dan kemasyarakatan. Diharapkan dari hasil diskusi ini akan muncul riset-riset di FTSP yang berbasis gender dengan aplikasi bidang keteknikan. (Renny)