CML #9 FTSP UII Hadirkan Inovasi Rumah Adaptif Iklim dari Desa Wunung

Perubahan iklim yang semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari mendorong kebutuhan akan hunian yang lebih tangguh dan adaptif. Menjawab tantangan tersebut, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) bekerjasama dengan Yayasan Habitat Kemanusiaan Indonesia (Habitat for Humanity Indonesia) menggelar Coffee Morning Lecture (CML) Episode 9 dengan tema “Kajian Rumah Adaptif Iklim” pada hari Jumat, 28 November 2025 bertepatan dengan 8 Jumadilakhir 1447 H. Acara yang berlangsung di Selasar Hall FTSP UII ini menghadirkan akademisi, praktisi, organisasi profesi, mitra pembangunan, serta warga penerima manfaat dari Desa Wunung, Gunungkidul.
CML #9 menyoroti urgensi perancangan rumah yang mampu merespons cuaca ekstrem, peningkatan suhu, hingga perubahan pola musim. Salah satu contoh implementasi nyata dibahas dalam program Rumah Habitat Adaptif Iklim di Desa Wunung, hasil kolaborasi FTSP UII dan Yayasan Habitat Kemanusiaan Indonesia.

Perwakilan PT Prudential Life Assurance Indonesia, selaku mitra pendukung program perumahan berkelanjutan, menegaskan komitmennya terhadap penguatan ketahanan masyarakat.
“Investasi terbaik adalah memastikan setiap keluarga memiliki rumah yang mampu melindungi mereka dari risiko iklim,” ujar Nuranisa Putri Matahari selaku Head of Community Investment Prudential Indonesia.
Dukungan lapangan turut ditegaskan oleh Habitat for Humanity Indonesia melalui asesmen, pendampingan, dan pembangunan rumah. “Solusi teknis harus selaras dengan budaya lokal dan melibatkan partisipasi masyarakat. Di situlah kekuatan rumah adaptif iklim,” ungkap Rudi Nadapdap, perwakilan Habitat for Humanity Indonesia.

Dekan FTSP UII, Prof. Ilya Fadjar Maharika, menekankan bahwa kegiatan ini merupakan wujud nyata kontribusi perguruan tinggi bagi masyarakat.“Rumah adaptif iklim adalah bukti bahwa ilmu Arsitektur, Teknik Sipil, dan Lingkungan dapat berpadu untuk menghasilkan solusi yang membumi sekaligus visioner” ungkapnya.
Dalam sesi pemaparan, Karnen Dasen, selaku pendamping lapangan, menggambarkan perjalanan panjang program di Wunung. “Kunci keberhasilan di Wunung adalah kepemilikan bersama. Warga tidak hanya menerima rumah, tetapi terlibat penuh dalam merancang hingga merawatnya.” Sementara itu, Prof. Suparwoko, peneliti utama kajian arsitektur adaptif, menjelaskan bahwa pendekatan adaptasi iklim menuntut desain yang lebih holistik.
“Orientasi matahari, ventilasi alami, konservasi air, material lokal, hingga kapasitas ekonomi warga—semua menjadi pertimbangan utama,” jelasnya.
Diskusi semakin menguat dengan hadirnya dua panelis yakni Ar. Erlangga Winoto, IAI, AA., Ketua Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta dan Ar. Daud Tjondro Rahardja, MBA., IAI., GP., Direktur Green Building Council Indonesia (GBCI). Keduanya sepakat bahwa model di Wunung memiliki potensi untuk direplikasi secara nasional. Desain adaptif iklim bukan sekadar tren, tetapi kebutuhan masa depan Indonesia.

Acara ini dihadiri lebih dari 50 peserta secara luring ataupun daring dari berbagai kalangan baik dari kalangan mahasiswa, akademisi, lembaga pemerintah, organisasi profesi, hingga warga desa Wunung. Para penerima manfaat turut membagikan pengalaman bagaimana rumah baru mereka meningkatkan rasa aman dan kualitas hidup.
Sebagai penanggung jawab kegiatan, Ikrom Mustofa, menyampaikan bahwa hasil diskusi akan dirumuskan menjadi rekomendasi teknis dan kebijakan. “CML bukan hanya forum diskusi, tetapi ruang kolaborasi untuk melahirkan solusi nyata bagi masyarakat,” ujarnya.
CML #9 kembali menegaskan bahwa membangun rumah berarti membangun masa depan yang lebih tangguh. Dari Desa Wunung, FTSP UII, dan para mitra berharap lahir model hunian adaptif iklim yang dapat diterapkan di seluruh Indonesia.

Kegiatan yang berlangsung sejak pagi hingga menjelang siang ini turut diliput oleh sejumlah media, baik cetak maupun daring, di antaranya:


