Istikamah Menjadi Teladan di Jalan Allah

Istikamah Menjadi Teladan di Jalan Allah

Ketika Panitia Pesantren Ramadan 1444H memutuskan mengambil tema ini, saya mencoba mengambil hikmah atas jalan yang sulit ini. Saya katakan sulit karena dalam tema tersebut terkandung tiga level kesulitan. Kalau diibaratkan dengan matematika, maka tema di atas seperti persamaan dengan bilangan pangkat 3. Menjadi orang yang istikamah, atau menjaga konsistensi adalah perkara sulit. Menjadi teladan semakin sulit lagi karena bukan hanya sekedar konsisten tetapi juga mampu membuka jalan. Di Jalan Allah menjadi perkara yang super sulit karena godaan manusia untuk melenceng sangat banyak dan selalu menghadang jalan tersebut. Dunia adalah sumber ide untuk “bermain-main” yang melenakan tujuan utama kembali ke Tuhan.

Saya akan mengaitkan tema di atas dengan tren saat ini yaitu Artificial Intelligence, saya padankan menjadi IA – Intelejensia Artifisial. Hal ini menjadi penting bukan hanya untuk memahami IA sebagai tren namun juga pada dampaknya pada kita dan memberi batasan bagaimana kita berinteraksi dengannya. Ketika mencoba mengeksplorasi jurnal-jurnal Nature, saya sempat menemukan artikel menarik di Scientific Report. Artikel ini ditulis oleh Sebastian Krügel dan Matthias Uhl dari Faculty of Computer Science, Technische Hochschule Ingolstadt, Jerman dan Andreas Ostermaier Department of Business and Management, University of Southern Denmark, Denmark.

Dari tulisan mereka, saya sedikit simpulkan sebagai berikut.
1. Manusia ternyata dipengaruhi oleh IA dalam beragam bentuk, menyelesaikan ujian, membuat coding komputer, hingga meminta pendapat dalam pengambilan keputusan, baik sadar ataupun tidak sadar.
2. IA ternyata tidak konsisten ketika ditanya perihal moralitas. Misalnya ketika ada pertanyaan yang menyangkut dilema moral antara membiarkan lima orang mati atau menerima satu orang untuk mati sehingga menyelamatkan empat orang lain atau mengorbankan salah satu untuk mati untuk menyelamatkan yang orang lainnya.
3. Kesimpulan artikel ini adalah manusia jangan minta pendapat dari IA dan ketidakkonsistenan ini karena ia bukanlah subjek moral. IA juga perlu didesain mempunyai limitasi dan menyadarkan orang yang bertanya ketika menyerempet dilema moral.

Belajar mengambil hikmah dari situasi tersebut, saya kemudian teringat pada kualitas kemanusiaan. Syukur Alhamdulillah, manusia dikaruniai paling tidak tiga alat yaitu kesadaran intelegensia atau akal yang dibentuk di otak, kesadaran sosial, etika, atau moralitas yang dijaga oleh hati, dan kesadaran spiritual untuk menyadari kefitrahan kita yang dijaga oleh hati terdalam atau kalbu. Dalam berbagai tafsir kalbu ini adalah salah satu dimensi hati yang bertugas mengambil pertimbangan dalam situasi yang tidak menentu (membalikkan, mengganti, berubah-ubah, dan berbolak-balik, sebagaimana makna akar katanya qalaba [2].

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S. Al-Hajj : 46)

Kembalikan pada hikmah tema Pesantren Ramadan, barangkali perlu kita sadari kembali hakikat kemanusiaan dan bagaimana interaksi dengan IA. IA saat ini telah berkembang pesat dan dipakai di hampir semua bidang dengan beragam jenis. Mempelajari ragam IA, potensi, masalah dan regulasinya [3] berguna untuk membantu kita menavigasi. Kemungkinan besar IA telah membentuk kesadaran akal kita untuk “istikamah” pada ranah rutinitas kehidupan tertentu, misalnya pada pola konsumsi. Namun untuk menjadi teladan kita harus punya kompas moral karena berada di depan. IA akan memberi jawaban inkonsisten sehingga keputusan tetaplah harus di tangan manusia. Untuk mencari Jalan Allah harus punya sensitifitas fitrah untuk merasakan jalan menuju Allah. Kita tidak akan dapat meminta bantuan IA karena jelas ia tidak punya agama.

AI akan terus berkembang. Namun sejalan dengan itu, aspek kemanusiaan justru menjadi semakin bermakna untuk memahami kepandaian dan sekaligus keterbatasan AI.

Milik Allah segala pengetahuan.

Referensi

[1] Krügel, S., Ostermaier, A. & Uhl, M. ChatGPT’s inconsistent moral advice influences users’ judgment. Sci Rep 13, 4569 (2023). https://doi.org/10.1038/s41598-023-31341-0

[2] https://ismailview.com/qalb-sebagai-dimensi-hati/

[3] https://www.techtarget.com/searchenterpriseai/definition/AI-Artificial-Intelligence

Catatan:
Penulis: Ilya Fadjar Maharika. Materi ini merupakan penulisan kembali Sambutan pada Pesantren Ramadan 1444H Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia, Jumat, 17 April 2023