Kuliah Umum FTSP UII: Likuifaksi Terjadi Sebelum Gempa
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) Senin (27 Januari) menggelar kuliah umum Likuifaksi dan Kegempaan di auditorium FTSP UII Jl.Kaliurang Km.14,5 Sleman Yogyakarta, dengan menghadirkan narasumber Prof.Ir.Paulus Pramono Rahardjo, MSCE., Ph.D (Universitas Parahyangan) dan Guru Besar FTSP UII Prof.Ir.Widodo, MSCE., Ph.D yang diikuti tidak kurang dari 200 peserta baik mahasiswa UII, mahasiswa perguruan tinggi lain, maupun berbagai instansi pemerintah.
Wakil Dekan bidang Sumber Daya FTSP UII (Dr.Ir.Kasam, MT) dalam sambutanya menuturkan, saat gempa bumi di Aceh tahun 2004 masyarakat awam belum banyak membahas tentang likuifaksi, namun demikian pada waktu gempa bumi di Palu, likuifaksi menjadi perhatian masyarakat karena banyak memakan korban material dan jiwa. Dan ini terjadi bukan hanya bangunan saja, tetapi tanah, bangunan dan penghuninya menjadi bubur.
Kasam menambahkan, kuliah umum yang diselenggarakan ini merupakan diskusi yang sangat berharga, semoga ditemukan rekayasa kegempaan dan ikutannya. Suatu hal perlu sekali dikembangkan terus dan ketika akan terjadi gempa sudah siap dengan rekayasa, dengan demikian keamanan dapat diantasipasi sedini mungkin. Pintanya.
Narasumber Prof.Paulus Pramono menegaskan, berdasarkan hasil penelitian, potensi likuifaksi terjadi pada gempa yang berkekuatan lebih dari 5 (lima) magnitudo. Ada beberapa jenis likuifaksi mulai dari tidak mengakibatkan kerusakan hingga meluluhlantakan wilayah beserta bangunan dan penghuninya.
Likuifaksi adalah tanah yang kehilangan kekuatan akibat diguncang oleh gempa, yang mengakibatkan tanah tidak memiliki daya ikat. Guncangan gempa meningkatkan tekanan air, sementara daya ikat tanah melemah. Hal ini menyebabkan sifat tanah berubah dari padat menjadi cair.
Prof.Paulus Pramono berpendapat, likuifaksi terjadi akibat di dalam tanah wilayah yang terkena gempa ada sumber air. Air membuat kerusakan pada tanah dan bangunan di atasnya, selanjutnya, air mengalir menuju ke tempat yang rendah. Akhirnya infrastruktur di atasnya berlipat-lipat.
Sementara untuk menekan jumlah korban, perlu dilakukan mitigasi agar likuifaksi tidak banyak memakan korban jiwa. Ungkap Prof.Paulus Pramono.