Prof, Noor Cholis Idham, ST., M.Arch., Ph.D., IAI   resmi menyandang gelar sebagai salah satu Profesor di Universitas Islam Indonesia (UII). Pencapaian gelar profesor ini merupakan profesor pertama yang dimiliki oleh Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII. Dirinya meraih jabatan Profesor/ Guru Besar dalam bidang Arsitektur, yang saat ini juga masih menjabat sebagai Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII.

Penyerahan Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor diserahkan oleh Prof.Dr. Didi Achjari, SE., M.Com., Akt. selaku Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V kepada Rektor UII (Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D.) selanjutnya diserahkan langsung kepada Prof. Noor Cholis Idham, S.T., M.Arch., Ph.D., IAI. pada Selasa (9 Maret) bertempat di Gedung Kuliah Umum (GKU) UII Jl. Kaliurang Km.14,5 Sleman Yogyakarta.disaksikan oleh Ketua Badan Wakaf UII (Drs. Suwarsono Muhammad, M.A.), Pimpinan Fakultas, Jurusan, serta Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII.

Rektor UII (Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.) dalam kata sambutannya menuturkan menjadi guru besar atau profesor tidak dapat dialami semua dosen. Dari 291.623 dosen yang terdaftar di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (pddikti.kemdikbud) hingga saat ini 9 Maret 2021 yang tersebar di 4.611 perguruan tinggi, dan hanya 5.364 (Sinta, sinta.ristekbrin)  yang mempunyai jabatan akademik guru besar alias hanya 1,8%. Karenanya, banyak harapan publik digantungkan kepada pemegang jabatan akademik ini.

Meski dari sisi cacah, guru besar adalah kalangan terbatas, namun tidak boleh bersikap elitis. Guru besar tidak lantas merasa berhak mengasingkan diri dan hidup di menara gading, tetapi justru sebaliknya, harus tetap membumi dan terlibat dalam banyak aktivitas akademik dan pemecahan masalah nyata di lapangan. Guru besar adalah pengawal pengembangan ilmu pengetahuan yang relevan dengan zaman. Ini adalah syarat penting kemajuan sebuah peradaban manusia.

Seorang guru besar jangan sampai lupa dengan tugas utamanya dalam pengembangan ilmu ungkap Prof. Fathul Wahid, tetapi ilmunya pun harus diajarkan dan disebarkan kepada publik. Jabatan apapun yang diembannya jangan sampai menjadi alasan untuk berhenti mengembangkan diri, meneliti, dan menulis. Saya juga mengharapkan para guru besar memperluas bacaan untuk memperkaya perspektif terkait dengan konteks.

Ada kalanya tambahnya, para guru besar berani mulai menapaki jalan sunyi yang tidak banyak orang berpikirian serupa. Sekali lagi, tidak selalu mudah dan bebas risiko, tetapi bukankah bola salju yang besar selalu berawal dari kepal salju yang kecil?

Oleh karenanya kata Prof.Fathul Wahid, seorang guru besar sudah saatnya meneguhkan diri menjadi pemikir mandiri dengan referensi yang kaya dan argumen kuat, serta tidak lagi terbawa arus narasi publik. Keteguhan ini menjadi semakin penting di era paskakebenaran ketika opini sarat kepentingan lebih dikedepankan dibandingkan fakta.

Jika ini yang dilakukan, maka, para guru besar tidak lagi membangun argumen hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan sesaat. Sampai level tertentu, bisa jadi semangat altruisme, berkorban untuk orang lain dan institusi, diharapkan melekat pada para guru besar. Inilah saatnya mengasah kebahagiaan ketika mampu memberi, dan tidak lagi terlalu menikmati suka ketika menerima.

Pesan-pesan ini tidak hanya valid bagi guru besar baru, tetapi untuk semua guru besar, termasuk saya (ungkap Prof.Fahul Wahid). Bahkan, pesan-pesan ini pun relevan untuk semua dosen. Tantangan berat yang mungkin dihadapi tidak lantas menjadikan pesan-pesan tersebut tidak valid. Ruang diskusi tentu tetap terbuka.

Prof. Fathul Wahid menitipkan pesan, izinkan saya menitipkan beberapa permintaan atas nama UII. Pertama, mohon bantuannya untuk mendorong dan membesarkan UII dalam rel moral dan akademik dengan standar tinggi. Isu ini menjadi penting ketika kita dengar ada kabar bahwa  dosen atau peneliti yang menjadikan jabatan akademik guru besar menjadi tujuan dan bahkan mengabaikan etika untuk mendapatkannya.

Kedua, mohon bantuan dalam mendampingi para dosen yang lebih muda secara akademik. Saya memilih menggunakan pendampingan untuk menjaga semangat kolegial. Di kampus, teori manajemen sumber daya konvensional tidak selalu relevan, karena atasan atau bawahan hanya merupakan pembagian peran dalam bingkai waktu tertentu.

Di belakang suami yang hebat, dapat dipastikan ada istri sebagai pendamping yang lebih hebat. Saya percaya, ikhtiar dan doa suami istri ibarat bejana berhubungan yang saling menyeimbangkan. Karenanya, saya titip satu pesan tambahan: jangan lupa berterima kasih kepada istri dan anak-anak. Tutup Prof.Fathul Wahid.