Pekerjaan Kampus Pasca Akreditasi Internasional

Artikel ini merupakan materi sambutan
Tasyakuran IABEE Program Studi Teknik Sipil Jenjang Sarjana Jurusan Teknik Sipil
13 Mei 2023

Alhamdulillah; perlu kita syukuri capaian akreditasi internasional berkelanjutan pada Program Studi Teknik Sipil Jenjang Sarjana, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia kita tercinta oleh IABEE. Demikian pula capaian penyetaraan Unggul dari BAN PT. Capaian yang sama oleh Program Studi Teknik Lingkungan perlu kita apresiasi tinggi. Demikian pula pula keberhasilan tiga program studi Jurusan Arsitektur yang tervalidasi oleh Lembaga Arkitek Malaysia yang merepresentasikan tradisi validasi Royal Institute of British Architects (RIBA) Inggris Raya.

Di samping rasa syukur tersebut, kita perlu menggali hikmah lebih dalam. Berkembangnya perguruan tinggi, sebagai perubahan internal sering disebabkan atau didorong oleh kondisi eksternal. Tuntutan kriteria akreditasi internasional adalah salah satunya. Beberapa pertanyaan muncul: adakah faktor internal bagi pengembangan pendidikan tinggi? Apa yang kita perlukan bagi pengembangan organisasi pasca akreditasi internasional?

Melihat sejarah, pengaruh eksternal bagi perguruan tinggi memang sangat kuat. Era awal 1990an, akreditasi menjadi salah satu pilar utama untuk menandai kualitas perguruan tinggi. Standar akreditasi menjadi rujukan dalam mengembangkan hampir seluruh kegiatan akademik dan nonakademik dalam rangka memastikan nilai mencapai yang terbaik. Sekitar tahun 2000 muncul “demam ISO” atau Total Quality Management dalam rangka menyambut standar internasional yang banyak diadopsi di dunia industri. Penjaminan mutu kemudian berkembang luas dan menjadi praktik yang lazim saat ini. Ketika posisi kelaziman tersebut telah tercapai, muncul tantangan baru yaitu akreditasi internasional. Di UII akreditasi ini marak sejak diluncurkannya program menuju perguruan tinggi berkelas internasional (world class university). Kala itu, sekitar 2008 UII pertama kali masuk peringkat internasional melalui Webometric yang tampaknya menjadi penyadaran bahwa kita dapat bermain di level internasional. Mulai sekitar 2010an pencanangan hibah internasionalisasi pun berkembang. Bagi penerima hibah, misalnya Teknik Sipil dan Arsitektur, banyak perubahan dilakukan. Alhamdulillah kita dapat menuai hasil. Teknik Sipil jenjang sarjana misalnya menjadi salah satu pionir karena mampu mendapatkan akreditasi internasional JABEE untuk pertama kalinya pada tahun 2016.

Namun seiring terinternalisasinya standar dan kriteria internasional perguruan tinggi mempunyai potensi business as usual. Organisasi akan berhadapan dengan dilema dan pertanyaan terkait “perubahan terpaksa” ini. Apakah memang benar-benar terjadi perubahan substansial atau perubahan ala kadarnya supaya sesuai dengan kerangka asesmen eksternal? Apakah akan berkelanjutan? Quo vadis (mau ke mana) pasca akreditasi internasional?

Kita perlu ingat, banyak organisasi secara internal mengidap sindroma immunity to change. Buku Immunity to Change: How to Overcome It and Unlock the Potential of Yourself karya Robert Kegan dan Lisa Lahey yang diterbitkan Harvard Business Press tahun 2009 menarik untuk dikaji. Imunitas pada dasarnya positif karena memberi perasaan nyaman dan stabilitas. Namun imunitas juga berpotensi menjadi masalah ketika menjadi alat untuk menolak kebaruan yang diperlukan untuk menyehatkan orang dan menjadikannya tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan eksternal.

Imunitas semacam ini juga terjadi pada organisasi. Penolakan terhadap kebaruan dapat berubah menjadi faktor negatif yang menggerogoti kekuatan adaptasi. Akreditasi internasional dapat menjadi alasan terjadinya imunitas terhadap perubahan karena mampu membentuk asumsi besar kolektif (colletive big assumptions) bahwa apa yang telah kita lakukan sudah merupakan cara terbaik untuk kita. Asumsi ini dapat melenakan dan mencegah kita untuk melakukan proses adaptasi. Tanpa kemampuan adaptasi, organisasi tidak akan mampu berkembang ketika dunia telah berubah, dengan perubahan yang demikian cepat.

Lantas apa yang harus dimiliki dalam organisasi kita agar tidak imun terhadap perubahan dan mampu menjadi organisasi adaptif? Kegan dan Lahey merumuskan 3 kandungan: (a) keberanian memotivasi perubahan, (b) bersatunya “hati dan kepala” dalam beradaptasi, dan (c) “tangan” yang menggerakkan secara simultan mindset dan perilaku organisasi. Semuanya perlu disadari secara kolektif dan kemudian bergerak bersama. Semoga tasyakuran ini menjadi bagian penyadaran untuk mengambil hikmah bahwa masih banyak pekerjaan kampus pasca akreditasi internasional.

Ilya Maharika
12 Mei 2023

Rujukan
Robert Kegan & Lisa Lahey (2009) Immunity to Change: How to Overcome It and Unlock the Potential of Yourself. Harvard Business Press.