Manusia dan Alam: Sebuah Dimensi Kembali Ke Fitrah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Untuk Allah Swt. segala puji dan salawat untuk Rasulullah, Saw. Sang Manusia Teladan. Amma ba’du.
Di samping manusia sebagai pengabdi Allah, alam bagi Islam sejatinya sangat esensial. Salah satu contoh adalah sebagai penggambaran eksistensi surga melalui deskripsi alami: jannātin tajrī taḥtahal-an-hār atau diterjemahkan bebas sebagai “mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Banyak ayat yang menandakan berita tersebut. Surat Al Baqarah, penggalan ayat 25 misalnya:
وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ ۖ
Sampaikan kabar gembira kepada mereka yang beriman dan beramal saleh, bahwa bagi mereka surga-surga yang dihiasi sungai-sungai yang mengalir;
Demikian pula At Taubah, ayat 100 yang memberitakan surga dan keberadaan sungai yang abadi.
Para perintis pertama dari Muhajirin maupun Ansar serta yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rida terhadap mereka dan mereka pun bahagia dengan pahala yang diterima. Allah menyediakan bagi mereka surga yang dihiasi oleh sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal abadi di sana. Itulah kebahagiaan yang paling besar.
Demikian pula Surat Al Araf, sebagian ayat 43 yang mengindikasikan kedamaian sempurna.
Kami cabut dari dada mereka segala macam kemasygulan, mereka tinggal di surga yang dihiasi sungai-sungai yang mengalir;
Demikian pula deskripsi tentang Telaga Kautsar dalam Surat dengan nama yang sama, Al Kautsar ayat 1-3, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai hiburan: sungai yang airnya tak terputus sebagai antitesis orang-orang pembenci Rasulullah Saw. yang diputus jalur keturunannya.
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al Kautsar (nikmat yang banyak).
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
Atau di Surat Ad Dukhaan ayat 52 yang menunjukkan bahwa orang-orang bertakwa akan berada di tempat yang aman dan dikelilingi taman-taman dan mata air.
… dikelilingi taman-taman dan beberapa mata air …
Dari sekelumit saja berita ilahiah di atas kita perlu meyakini bahwa alam raya ini begitu dekat dengan manusia. Ia bukan hanya amanah untuk dikelola dengan baik – sebagai peran khalifaturl fil ardl – tetapi juga sebagai pelajaran melalui metafora.
Lantas, bagaimana manusia memandang alam? Bagaimana manusia terhubung dengan alam? Apakah kaitan ini juga terpateri secara ilmiah?
Pada kajian kecil ini dicoba mensitir beberapa jurnal dan buku terkait dengan hal tersebut.
Pertama adalah dari sebuah artikel yang melaporkan penelitian tentang aktivitas syaraf otak yang menunjukkan temuan menarik. Penelitian yang dilakukan sekelompok peneliti Korea Selatan ini menelisik aktivitas otak manusia ketika melihat foto-foto yang menggambarkan lingkungan pedesaan dan perkotaan dengan menggunakan teknik pencitraan resonansi magnetik fungsional (MRI – magnetic resonance imaging). Mereka meneliti 30 subjek yang memiliki pengalaman hidup baik pedesaan maupun perkotaan. Mereka menemukan beberapa bagian otak anterior cingulate gyrus, globus pallidus, putamen dan caudate nucleus dominan selama melihat pemandangan pedesaan. Bagian-bagian ini dipercaya berasosiasi dengan kegembiraan. Sebagian lainnya terutama pada hippocampus, parahippocamus dan amigdala, dominan aktif ketika melihat perkotaan. Bagian terakhir ini terutama amigdala adalah bagian otak yang dipercaya bertanggung jawab dalam mendefinisikan dan mengendalikan emosi terutama terhadap stres atau ancaman. Temuan ini memungkinkan karakterisasi yang lebih baik dari aktivasi saraf, menunjukkan preferensi yang melekat terhadap gambaran alami yang ramah dibandingkan dengan gambaran perkotaan (Kim et al., 2010). Pemahaman teoretis semacam ini menjadi bukti empirik penting bahwa manusia dirancang Allah untuk mencintai alam. Pengetahuan ini dapat berdampak praktis yang penting mengingat aplikasi potensial untuk pengembangan bidang terkait psikologi lingkungan yang sangat terkait dengan bidang keilmuan kita.
Pandangan serupa dikonfirmasi pula oleh kelompok peneliti di Universitas Exeter Inggris Raya. Dr. Ian Frampton menunjukkan bahwa manusia mungkin terprogram untuk merasa damai di pedesaan dan bingung di kota, bahkan jika mereka lahir dan dibesarkan di daerah perkotaan. Mereka menemukan bahwa area otak yang terkait dengan keadaan tenang dan meditasi aktif ketika orang diperlihatkan gambar pedesaan. Sebaliknya, gambar lingkungan perkotaan menghasilkan penundaan reaksi yang signifikan. Sepertinya bagian otak yang terlibat dalam pemrosesan visual berubah dan aktif untuk mencoba mencari tahu apa yang mereka lihat. Profesor Michael Depledge dari unniversitas yang sama dan mantan kepala ilmuwan Badan Lingkungan Hidup, bahkan mengindikasikan penduduk perkotaan bisa menderita dengan cara yang sama seperti hewan yang dipelihara di penangkaran. Dia mengatakan perpindahan manusia ke kota mungkin disertai dengan meningkatnya depresi dan kelainan perilaku yang luar biasa (Johnston, 2013).
Kedua adalah sebuah bab berjudul An Islamic Perspective on Ecology and Sustainability. Artikel ini ditulis Moustapha Kamal Gueye dan Najma Mohamed, keduanya tokoh di Green Economy Coalition, Inggris Raya (https://www.greeneconomycoalition.org/the-coalition). Buku induknya berjudul menarik: Ecotheology – Sustainability and Religions of the World (Hufnagel, 2023). Bab tersebut memperlihatkan bahwa Islam sangat memperhatikan keseimbangan (mizan); alam diciptakan dalam keseimbangan dan manusia diperintahkan untuk tidak merusak keseimbangan tersebut dengan keadilan (QS: Al-Rahman ayat 7-9):
Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.
Para penulis meyakini bahwa konsepsi di atas dapat menjadi dasar yang cukup untuk membangun eko-etika Islam. Ekoetika ini berprinsip (a) keadilan dan keseimbangan bersifat universal, (b) keseimbangan universal ini diciptakan oleh Tuhan, (c) manusia harus berusaha untuk memahami keseimbangan universal ini dan mengikutinya dalam kehidupan sosial termasuk dalam interaksi dengan lingkungan (Gueye & Mohamed, 2023).
Idul Fitri sebagaimanan kita rayakan saat ini, sering dimaknai pada dimensi individual dan sosial. Kembali suci laksana bayi. Saling memaafkan antar sesama manusia. Hal ini tidak salah, namun sepertinya tidaklah lengkap. Sebagaimana sinyal yang telah disampaikan Al Quran dan dikonfirmasi oleh neurosains maupun ekoetika Islam, tampaknya kembali ke fitrah alamiah. Manusia perlu kembali menjadi alami: paham sebagai bagian dari alam, mencintai alam, dan senantiasa mengupayakan keseimbangan dengan berlaku adil terhadap alam. Dalam Syawalan 1444 Hijiyah yang bertema “Istikamah Menjadi Teladan di Jalan Allah” ini saya terjemahkan bebas sebagai “istikamah menjadi teladan dalam berperilaku seimbang terhadap alam sebagai bagian dari syiar Jalan Allah.”
Semoga kita kembali fitrah individual, fitrah sosial, dan juga fitrah alamiah.
Hanya Allah yang memiliki pengetahuan sempurna.
Ilya F Maharika
7 Mei 2023
Referensi
Al Quran dan Terjemahan Artinya, Universitas Islam Indonesia. UII Press.
Hufnagel, L. (Ed.). (2023). Ecotheology – Sustainability and Religions of the World. IntechOpen. doi: 10.5772/intechopen.100196
Johnston, I. (2013) Human brain hard-wired for rural tranquillity. Independent, Selasa 10 Desember 2013 https://www.independent.co.uk/news/science/human-brain-hardwired-for-rural-tranquillity-8996368.html.
Kamal Gueye, M., & Mohamed, N. (2023). An Islamic Perspective on Ecology and Sustainability. IntechOpen. doi: 10.5772/intechopen.105032.
Kim, T.-H., Jeong, G.-W., Baek, H.-S., Kim, G.-W., Sundaram, T., Kang, H.-K., Lee, S.-W., Kim, H.-J., & Song, J.-K. (2010). Human brain activation in response to visual stimulation with rural and urban scenery pictures: A functional magnetic resonance imaging study. Science of The Total Environment, 408(12), 2600–2607. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2010.02.025.
https://www.greeneconomycoalition.org/the-coalition.