AMANAH BUMI

Bismillahirrahmanirrahiim 

Manusia diciptakan untuk mengemban risalah di muka bumi. Dalam ajaran Islam, sejak mula diciptakan, Adam memang dirancang untuk menjadi “khalifah di muka bumi” sebagaimana difirmankan dalam Surat Al Baqarah ayat 30 bahwa Allah berkehendak untuk mencipta makhluk yang sangat dimuliakan sebagai khalifatullah fi al ardh. Sebagai Sang Penerima Mandat Kebumian, manusia ditugasi untuk menjaga dan melestarikan bumi sebaik-baiknya. 

Sejak mula dicipta, manusia memang ditujukan untuk berkedudukan di bumi, sebutir planet kehijauan di bentang milyaran galaksi dan trilyunan planet. Sejauh jangkauan nalar mereka, para ilmuwan menghitung, alam raya berusia 13,5 milyar tahun dan bumi terbentuk sekitar 9 milyar tahun sesudah penciptaan semesta. Bumi bukanlah tempat pembuangan, bagi Adam setelah melakukan kedurhakaan. Allah telah menerima taubatnya dan karuniakan ampunan baginya. Bumi adalah tempat pilihan yang akan menjadi kedudukan, keberkahan dan sekaligus batu ujian begi sebaik-baik ciptaan.

Amanah ini sangat berat, karena manusia acapkali abai dan lalai. Bahkan kadang dia menduga bahwa yang dilakukan adalah berbuat kebaikan. Al Quran (Surat Al Baqarah) mengritik sikap ini dengan menekankan pada ketidaktahuan manusia tentang kerusakan yang mereka perbuat. 

  1. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.”
  2. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.

Di era modern, ketika kecerdasan nalar manusia sudah jauh melampaui masa-masa sebelumnya. kerusakan demi kerusakan yang dilakukan manusia, tidak menunjukkan gejala untuk menyurut. Sebaliknya, teknologi yang semestinya memudahkan kehidupan manusia khususnya untuk melakukan kebaikan ternyata juga merupakan alat yang sangat ampuh untuk berbuat kerusakan dalam skala yang berlum pernah terjadi dan bahkan belum pernah terbayangkan sebelumnya. Perang Dunia I (1914-1918) menjadi gelaran pertama untuk menunjukkan daya hancur yang dahsyat dari senjata dan teknologi perang lainnya yang diproduksi secara massal. Industrialisasi memungkingkan untuk pengembangan berbagai inovasi dalam senapan mesin, granat dan meriam, serta kendaraan tempur seperti tank, kapal selam dan pesawat.

Tak lama berselang setelah usainya Perang Dunia I, dunia bergolak lagi dengan Perang Dunia II (1933-1945) yang dipicu oleh serangan Jerman atas Polandia. Balatentara berbagai negara siap untuk bertempur dan saling menghancurkan dengan kemampuan yang berlipat ganda karena dukungan teknologi peperangan dengan kecanggihan yang kian menakjubkan. Pameran daya hancur ini mencapai puncaknya dengan dijatuhkannya Bom Atom di kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Belum pernah dan tidak pernah sesudahnya (semoga) manusia begitu efisien untuk memusnahkan sesamanya. Negara-negara Sekutu yang mengirimkan senjata pemusnah itu berargumen “untuk kebaikan”, sebagaimana musuh-musuh mereka juga yang memicu konflik global ini. 

Industrialisasi, meskipun tidak sedramatai peperangan, juga potensial untuk menimbulkan kerusakan dalam skala yang lebih luas. Pengerukan sumber daya secara berlebihan, penurunan kualitas lingkungan nyaris dalam seluruh aspeknya, hingga perubahan iklim global yang memicu berbagai bencana adalah dampak nyata yang berada di depan mata. 

Berbuat kebaikan atau “islah” atas bumi yang diamanahkan yang ditegaskan dalam ayat-ayat di atas ternyata tidaklah mudah. Selain faktor-faktor eksternal, manusia juga punya “cacat bawaan” yang sering kali tak mereka sadari. 

  1. Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh. (Quran Surat Al- Ahzab)

Secara metaforis, Al Quran menggambarkan bahwa amanah untuk senantiasa berbuat baik pernah ditawarkan kepada gunung, bumi dan bahkan langit itu memang sangat berat. Tapi manusia, yang bukan hanya “zhalim” tapi bahkan “zhalum”dan bukan hanya “jahil” tapi bahkan “jahul” itu menerimanya. 

Bukan untuk menghindari amanah tapi untuk menyadari bahwa peningkatan kapasitas keilmuan dan kesadaran diri sangat diperlukan. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 11-12 di atas ditegaskan tentang tanggung-jawab manusia termasuk untuk hal-hal yang menurut mereka adalah kebaikan. Daya kritis yang diasah dan diterapkan terus menerus perlu untuk dijaga agar manusia dapat memikul amanah dengan sebaik-baiknya. 

Dalam menyandang peran sebagai khalifah fi al-ardh (Quran Surat Al Baqarah: 30) manusia  memiliki kewenangan atas pengelolaan bumi dengan baik dan bertanggung jawab. Selain sebagai khalifah, tapi juga menjadi “hamba Tuhan yang Maha Penyayang” (‘ibad al-Rahman) yang digambarkan sebagai orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.

  1. Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam,”

Sikap pengasih, rendah hati dan senantiasa menebarkan salam ketika mereka merambah muka bumi sungguh penting untuk dapat menumbuhkan sikap yang mampu meredam keserakahan manusia dalam mengambil manfaat atas bumi. 

Pertama adalah sikap sebagai hamba (‘abd) yang senantiasa tunduk pada junjungannya. Kedua, sikap sebagai bawahan dari al-Rahman mendorong mereka untuk selalu menjadi cermin dari akhlak Sang Maha Penyayang sehingga akan memberikan perawatan yang terbaik. Ketiga, sikap “rendah hati ketika berjalan di muka bumi” menghindarkan manusia dari kehendak untuk mendominasi alam, lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Keempat, sikap menebar “salam” menumbuhkan jiwa damai dan mengutamakan pada perdamaian sehingga terhindar dari konflik yang berakar pada egoisme semata. 

Tentang Penulis

Nama : Dr. Ir. Revianto Budi Santosa, M.Arch.
Jurusan : Arsitektur
Jabatan : Ketua Program Studi Arsitektur Program Magister